Gofar, Coki, dan Persoalan Pola Konsumsi

Partime Politik
4 min readJun 23, 2021

--

source: Youtube Deddy Courbuzier

Tulisan ini saya buat karena terpantik oleh obrolan komika Coki Pardede dengan entertainer Deddy Corbuzier di podcast milik Deddy. Mereka berbincang seputar pernyataan Coki yang menyebut bahwa karya dari seorang pelaku pelecehan seksual tidak bisa dinegasikan, meskipun ia telah berbuat hal yang melanggar norma, bahkan hukum.

Coki kemudian mendapat serangan karena pernyataannya tersebut. Karena saat ia membuat pernyataan itu, sedang hangat pula pengakuan dari seorang korban yang diduga telah dilecehkan oleh penyiar dan konten kreator Gofar Hilman. Coki dinilai tidak berpihak pada korban, dan mengglorifikasi perbuatan melecehkan.

Seperti yang dilakukan Coki, pun saya akan memberikan pernyataan dukungan terhadap semua korban pelecehan seksual. Tidak ada pembenaran bagi para pelaku pelecehan. Mereka patut dihukum atas perbuatan melecehkannya. Termasuk Gofar, bila ia nantinya terbukti melakukan perbuatan tersebut.

Namun pada tulisan ini saya tidak akan lebih jauh membahas soal kasus yang menimpa korban, diduga dilecehkan Gofar. Saya akan mengambil perspektif lain yaitu perilaku orang terhadap konsumsi sebuah konten atau karya.

Jujur, saya memang menikmati karya Gofar. Dulu pertama kali dikenalkan pada karya Gofar oleh seorang kawan, yaitu video di Youtube miliknya. Video pertama yang saya lihat adalah monolog Gofar yang bercerita tentang pengalamannya dengan sebuah majalah gaya hidup. Pada video itu ia memberikan semacam obituari pada majalah yang berhenti terbit pada 2016 lalu.

Kepiawaiannya bicara dalam monolog itulah yang mengantarkan saya menjadi penggemar karya-karyanya yang lain. Sejak itu tiap kali dia mengeluarkan video baru soal otomotif dan musik, atau pun siarannya di Hard Rock Fm, saya menjadi lebih sering mengonsumsinya.

Singkat cerita, saat saya tidak sengaja menemukan akun media sosialnya, saya merasa tidak cocok dengan apa yang dia bagikan di media sosial. Gofar secara personal yang tercermin dari caranya berinteraksi di media sosial, tidak pas bagi saya pribadi untuk dikonsumsi. Karena alasan itu, saya memutuskan untuk tidak mengikuti akun media sosialnya.

Lantas apakah saya berhenti menikmati karya Gofar karena saya tidak suka dengan hal lain dari dirinya? Tentu tidak. Saya tetap setia menonton video-video yang menurut saya menarik. Lalu saat ini, setelah Gofar terseret kasus pelecehan seksual, apakah lantas saya berhenti sama sekali menikmati karyanya? Ya tentu tidak juga.

Ada satu hal yang menurut saya luput dari orang-orang yang menegasikan karya Gofar, karena mengasosiasikannya dengan kasus pelecehan seksual yang menimpanya: yaitu kebebasan kita untuk memilih sebagai penikmat karya.

Saat menikmati karya, menurut hemat saya tentu ada hal yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan kita sebagai penikmat. Bagi saya misalnya, mengonsumsi karya Gofar karena saya membutuhkan informasi soal otomotif dan musik. Sehingga karya-karya Gofar lainnya yang tidak berhubungan dengan itu, lebih banyak saya lewatkan, karena tidak sesuai dengan kebutuhan saya.

Pun predikat Gofar sekarang sebagai terduga pelaku pelecehan seksual, karena itu tidak bisa serta merta menegasikan kredibilitasnya sebagai orang yang biasa berbicara soal otomotif dan musik. Ia tetap orang yang sama, yang informasinya tetap bisa kita percaya.

Dalam Ilmu Komunikasi ada yang dinamakan teori jarum hipodermik. Teori ini menyebut bahwa media massa merupakan entitas memiliki kuasa besar, sedangkan pemirsanya, atau dalam hal ini saya sebut penikmat, merupakan entitas pasif yang tidak berdaya.

Teori ini menurut saya cukup usang, apa lagi di era digital seperti sekarang ini. Karena penikmat karya tentu bukan entitas pasif, yang bisa dicekoki begitu saja oleh media massa atau dalam hal ini saya sebut pembuat karya. Mereka aktif, dan dapat memilih karya apa yang mereka ingin konsumsi. Buktinya, ada orang-orang yang berani menyatakan tidak akan mengonsumsi karya-karya yang tidak sesuai dengan apa yang dia butuhkan.

Sehingga menjadi sangat sempit apabila seseorang hanya mampu menyatakan tidak ingin mengonsumsi sebuah karya, hanya karena predikat buruk seorang pembuat karya. Atau sebaliknya, seseorang jadi mengonsumsi karya hanya karena predikat baik sang pembuat karya, padahal tidak ada yang ia butuhkan sama sekali. Karena sejak awal, kuasa untuk itu memang sudah ada di tangan masing-masing penikmat.

Sepatutnya tidak ada paksaan bagi seseorang untuk mengonsumsi suatu karya. Bagi orang yang tidak tertarik pada dunia masak, tidak perlu menonton video-video Gordon Ramsey. Tidak karena ia terkenal dengan kepiawaiannya dalam memasak lantas seseorang merasa wajib untuk mengonsumsi karyanya.

Begitu pula halnya dengan Tik-Tok. Tidak karena aplikasi berbagi video itu tengah digandrungi, lantas seseorang merasa wajib untuk mengunduh dan aktif menggunakannya. Sementara ia tidak membutuhkan karya-karya yang ada di dalamnya.

Termasuk hal-hal viral lainnya. Seharusnya tidak ada paksaan sama sekali untuk mengonsumsi apa yang tengah banyak dikonsumsi. Penikmat berkuasa sepenuhya terhadap tubuh, jari, dan informasi apa yang ingin ia terima. Karena kebebasan sejak awal memang sudah ada, dan harus tetap dijaga.

--

--