Mempersenjatai Media Sosial

Partime Politik
4 min readJul 14, 2023

--

(Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Tayang pertama kali 20 Maret 2023 di Bandung Bergerak.

Lahirnya media sosial sebagai platform demokratisasi, nyatanya tidak jadi jaminan. Kritik di media sosial sampai hari ini belum juga dapat tempat. Media yang dicap sebagai tempat aktivis “malas” ini, nyatanya belum juga jadi ruang aman bagi publik untuk bersuara. Teranyar, Muhammad Sabil, guru di Cirebon dipecat setelah mengkritik jas kuning yang dipakai Ridwan Kamil dalam zoom meeting bersama siswa SMP 3 Tasikmalaya.

Sabil mempertanyakan warna jas yang identik dengan Golkar, partai politik yang belum lama ini menerimanya sebagai kader. Sebutan maneh saat berkomentar di Instagram pribadi Gubernur Jawa Barat itu, dianggap tidak sopan. Ridwan Kamil lalu mengirimkan pesan singkat melalui media sosial ke sekolah tempat Sabil mengajar, sebagai peringatan. Konon pesan ini lantas berimbas pada pemecatan Sabil.

Media sosial sebetulnya sudah terbukti mampu jadi medium penunjang aktivisme. Salah satu aksi massa besar dalam rangkaian Arab Spring, sangat dipengaruhi aktivitas di Facebook dan Twitter. Dua media sosial ini jadi tempat koordinasi demonstran di Mesir dalam menumbangkan rezim Hosni Mubarak. Massa mengetahui jadwal dan lokasi aksi dengan membaca media sosial.

Kesuksesan penggunaan media sosial sebagai platform aktivisme juga terjadi di Hong Kong. Massa yang menolak Rancangan Undang-Undang ekstradisi, menggunakan media sosial untuk berbagi macam-macam informasi. Mulai dari jadwal aksi, tips menghindari asap gas air mata, sampai cara mengenali samaran polisi. Selain berkomunikasi massa aksi juga merekam kejadian-kejadian di lapangan untuk kemudian diunggah ke media sosial. Gambar hasil rekaman ponsel itu kemudian viral. Tak sedikit yang ditangkap oleh media internasional, dan jadi sumber pemberitaan.

Media sosial memungkinkan ini karena pesan sampai di ruang publik secara instan, dan minim filter. Hal yang sulit eksis di era media massa (Tufecki & Wilson, 2012). Sebelumnya akses ke ruang publik yang cepat dan masif eksklusif bagi media massa. Tapi ruang kritik, dan keleluasaannya sangat dibatasi oleh campur tangan penguasa. Belum lagi ekonomi-politik media dan jurnalisme amplop. Kompleksitas birokrasi ini berkontribusi menutup ruang itu di media massa.

Jalan Terjal Aktivisme Medsos di Indonesia

Kondisi media sosial hari ini di Indonesia tidak sama. Keleluasaan media sosial harus berhadapan langsung dengan kekuasaan. Pengaruh pesan singkat atau direct message di media sosial saja sudah berdampak besar bagi karir seseorang. Bukan melalui pesan berisi teguran resmi secara institusional. Cukup teguran dari akun “resmi” bercentang biru yang diverifikasi Instagram.

Aktivisme musisi Ananda Badudu saat mendukung massa aksi mahasiswa menolak RKUHP dan revisi UU KPK, juga pernah berbuah kurungan. Nanda menggalang dana untuk membantu kebutuhan massa mahasiswa, melalui sebuah platform online. Penggalangan ini diumumkan, dan hasilnya ia laporkan melalui Twitter. Keesokan paginya setelah dana ditransfer, Nanda di gelandang ke kantor polisi tanpa tedeng aling-aling.

Jalan terjal aktivisme media sosial di Indonesia masih panjang. Jika seandainya teguran belum cukup, masih ada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang bisa digunakan. Kasus dua aktivis, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, sampai saat ini masih bergulir di kejaksaan. Mereka dilaporkan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, karena dianggap mencemarkan nama baik, setelah membahas kaitan Luhut dengan perusahaan tambang di Youtube.

Belum lagi persoalan misinformasi dan pembentukan wacana. Mirip dengan praktik agenda setting di media massa, di era media sosial penguasa bisa berlaku serupa. Bedanya di media massa, keputusan tetap ada di ruang redaksi. Sementara di medsos, penguasa lebih leluasa dengan mengerahkan langsung para pendengung atau buzzer. Biasanya akun-akun ini mendistorsi wacana yang muncul dengan menyerang orang-orang yang bersuara. Bisa juga membuat wacana tandingan dengan tujuan mengalihkan fokus publik dari isu utama. Wacana pesanan ini akan diangkat oleh akun-akun robot, atau orang-orang bayaran yang berkomentar sesuai pesanan.

Bahaya dari distorsi yang dibuat pendengung adalah memecah belah masyarakat. Informasi bias dan menyesatkan akhirnya membuat polarisasi meruncing, atau minimal membuat publik bingung dan tak percaya pada semua informasi di media sosial. Padahal mendorong kepentingan publik mensyaratkan soliditas dan aksi kolektif. Karena ongkos atau resiko yang perlu ditebus massa kolektif akan lebih rendah jika dibandingkan diperjuangkan segelintir individu saja (Olson, 1971).

Mengubah kondisi media sosial di Indonesia saat ini perlu langkah yang menyeluruh. Utamanya, diperlukan political will dari pemerintah untuk menghentikan segala bentuk kriminalisasi bagi mereka yang bersuara. Entah untuk tujuan membungkam, atau sekedar menakut-nakuti. Hapuskan pasal dan undang-undang karet. Tidak boleh lagi ada praktik penangkapan oleh aparat. Apalagi masih ada standar ganda dalam mengatasnamakan demokrasi. Kalau demokrasi sesuai dengan agenda penguasa, maka wacana bebas beredar. Kalau tidak, demokrasi dihabisi.

Kedua, hentikan penggunaan buzzer secara serampangan. Membangun citra politik di negara demokrasi memang perlu dilakukan. Media sosial bisa jadi ruang untuk mendorong gagasan yang berkualitas. Buzzer bila pun diperlukan, hanya untuk menyebarluaskan informasi, tanpa perlu mendistorsi. Juga tidak perlu memoles citra kebijakan publik yang jelas-jelas ditentang pengesahannya, dengan cara membayar influencer.

Terakhir, Demi menciptakan ruang publik yang bersih, masyarakat perlu mengonsolidasikan diri. Keluar dari echo chamber masing-masing, dan hapus keterbelahan. Agar terbangun pagar yang jelas antara wacana pesanan dan wacana organik.

--

--

No responses yet